728x90

Melengkapi Ibadah dengan Zakat Fitrah


Aturan pembayaran zakat fitrah.

Menjelang berakhirnya Ramadan, salah satu kewajiban penting bagi kaum Muslim adalah zakat fitrah. Seperti telah disinggung pada tulisan sebelumnya, Zakat ini disebut juga dengan zakat nufus atau zakat jiwa, karena perhitungan zakat ini menggunakan hitungan per orang (jiwa), bukan harta. Maka, setiap Muslim (laki-laki atau perempuan, anak-anak, bahkan budak sekalipun --kecuali yang benar-benar miskin) memiliki kewajiban untuk zakat fitrah (baik dalam bentuk makanan pokok  sekitar 2.5 kg atau uang yang setara). 


Setiap Muslim - termasuk yang miskin, selama mereka masih memiliki makanan untuk hari pertama Idul Fitri - harus membayar zakat al-fitr untuk diri mereka sendiri dan tanggungan mereka. Oleh karena hukum zakat fitrah adalah: Fardlu A'in, yaitu wajib bagi setiap individu  Muslim.


“Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho' kurma atau satu sho' sya'ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar kecil dari orang-orang islam; dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat.” (Muttafaq Alaihi)



Berapa bayarnya?


Tiga ulama (Imam Malik, Imam Syafi'I, dan Imam Ahmad) sepakat bahwa zakat fitrah itu sebesar 1 (satu) sho' kurma, gandum, atau makanan lain yang menjadi makanan pokok negeri yang bersangkutan. Bagi masyarakat kita, makanan pokok yang dimaksudkan adalah beras.


Madzhab Hanafi berpendapat bahwa zakat fitrah itu sebesar satu sho' dari semua jenis makanan .


Pendapat para ulama/mazhab:

a)    Mazhab Maliki:

        1 (satu) sho'     = 4 mud
        1 mud         = 6,75 ons.
        Jadi :     1 sho'         = 2,7 kg
       
b)    Madzhab Syafi'i :
        1 sho'         = 693 1/3 dirham = 2.751 gram
        Jadi :     1 sho'         =  2,75 kg.

c)    Madzhab Hambali

        1 sho'         = 2.751 gram
                          = 2,75 kg

d)    Mazhab Hanafi

        1 sho         = 8 rithl ukuran Iraq.
        1 rithl         = 130 dirham
                          = 3.800 gram
                         = 3,8 kg

Di Indonesia, lazimnya 1 sho' disetarakan dengan 2,5 kg.


Jumhur Ulama (Syafi'Iyyah, Malikiyah, Hanabilah) sepakat tidak boleh membayar zakat fitrah dengan selain bahan makanan pokok. Sementara Ulama Hanafiah membolehkan membayar zakat dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan.


Sejalan dengan perubahan dan dinamika yang berkembang di masyarakat, para ulama maupun tokoh Islam kontemporer mengambil ijtihad yang lebih praktis. Tentu terdapat dasar pertimbangan yang mengedepankan kebaikan bagi masyarakat di suatu wilayah. Sebut saja misalnya Imam Abu Hanifah, Imam Ats-Tsauri, Khalofah Umar bin Abdul Aziz dan Umar Hasan Basri. Menurut para ulama tersebut, zakat fitrah dapat langsung dibayarkan dengan uang tunai yang kadar (harganya) sepadan jika dilakukan dengan bahan makanan pokok.


Abu Ishaq berkata:
“Aku mendapatkan orang-orang membayarkan zakat fitrah pada bulan Ramadan beberapa dirham seharga makanannya.”  Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dari ‘Anun, ia berkata: “Aku mendengar surat dari Umar bin Abdul Aziz yang dibacakan kepada ‘Abdi, Gubernur Basrah, bahwa zakat fitrah itu diambil dari gaji pegawai kantor, masing-masing setengah dirham.”

Dengan demikian, ukuran zakat fitrah adalah dengan menggunakan ukuran 1 sho' yang disetarakan dengan 2,5 kg beras. Jika dibayarkan dengan uang tunai, maka tergantung kepada dasar harga yang diberlakukan.


Satu hal yang juga penting diperhatikan dalam pelaksanaan zakat fitrah adalah memilih jenis beras. Alquran menyatakan: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Q.S. ali Imran, 3: 92)


Hal itu berarti bahwa jenis beras yang digunakan adalah jenis beras yang standard (sesuai dengan standard yang kita makan setiap harinya) atau lebih baik dari itu.



Waktu membayar zakat fitrah


Waktu membayar zakat fitrah adalah saat terbenam matahari pada penghabisan bulan Ramadhan (malam takbiran) sampai sebelum dilaksanakan sholat Idul Fitri. Hal ini didasarkan atas hadits :
“Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah SAW. mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak berguna dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum sholat, ia menjadi zakat yang diterima dan barangsiapa mengeluarkannya setelah sholat, ia menjadi sedekah biasa. Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim.

Tidak ada larangan apabila zakat fitrah itu dibayar / diserahkan sejak awal Ramadhan. Yang jelas tidak boleh membayar zakat fitrah setelah selesai sholat Idul Fitri, karena hal itu hukumnya sudah berubah, yaitu menjadi sedekah biasa dan bukan termasuk zakat fitrah, seperti keterangan hadits di atas.


Dalam melakukan pembayaran, dapat dilakukan dengan menyerahkan sendiri kepada mustahik (yang berhak) maupun diserahkan melalui pengelola (amil). Dalam hal zakat itu diserahkan sendiri, barangkali tidak ada masalah. Namun ketika zakat itu harus diserahkan kepada panitia, ada baiknya diserahkan jauh-jauh hari dimana ada ruang bagi panitia untuk merencanakan pendistribusiannya. Karena, zakat fitrah hanya memiliki waktu sampai menjelang sholat ‘id.



Siapa penerima Zakat Fitrah (mustahik) ?


Pada zakat maal, terdapat 8 (delapan) asnaf penerima zakat, yaitu: fakir, miskin, 'amil, mu'allaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibn sabil. Namun pada zakat fitrah, penerimanya dipriroritaskan  pada golongan fakir miskin, sebagaimana disebutkan pada hadis diatas.


Lalu, bagaimana dengan para amil? Secara hukum, amil (pengelola) tetap memiliki hak atas zakat tersebut. Namun dalam konteks zakat fitrah, banyak para amil yang tidak memperhitungkan dan seluruhnya dioptimalkan untuk didistribusikan kepada fakir miskin.
Previous
Next Post »